Hidup merupakan kumpulan dari negosiasi, mulai dari beli mobil, nego gaji, beli rumah, hingga bicara dengan pasanganmu. Walaupun begitu, banyak orang berusaha menghindari negosiasi untuk menghindari konflik. Padahal, setiap konflik apabila dikelola dengan baik akan menghasilkan hasil yang menarik.
Kali ini saya akan membahas buku Never Split the Difference karya Chris Voss. Buku ini membahas tentang pengalaman Chris, seorang negosiator tawanan internasional yang bekerja untuk FBI. Sepanjang karirnya, dia banyak bernegosiasi dengan berbagai jenis kriminal seperti perampok bank hingga teroris. Menariknya, Chris melihat negosiasi dengan cara yang berbeda. Negosiasi itu bukan pertarungan argumen, tapi proses eksplorasi. Tujuan kamu dalam negosiasi adalah mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya dan mengungkap apa yang sebetulnya mereka inginkan. Agar bisa terwujud, kamu harus menggunakan rasa empati dan menciptakan rasa saling percaya untuk memulai percakapan yang sesungguhnya.
Saya merangkumnya menjadi tiga poin penting dari buku ini:

Mendengar secara mendalam
Ketika kita bernegosiasi artinya kita sedang berbicara dengan manusia yang butuh dihargai dan dimengerti. Menjadi pendengar yang baik adalah cara paling efektif untuk membuat negosiasi berjalan lancar. Di awal percakapan, fokus utama kita bukan untuk membalas argumennya, tapi dengarkan apa yang ingin mereka sampaikan. Jika kamu terlalu terburu-buru dalam bernegosiasi, maka orang akan merasa tidak didengarkan dan berpotensi untuk merusak komunikasi yang sudah dibangun.
Chris memberikan contoh di tahun 1993, perampok bank menawan sandera di New York. Saat itu, pemimpin perampok tersebut terdengar takut dan tidak bisa mengambil keputusan. Dia selalu berkata menggunakan kata “kami”. Negosiator pada saat itu berusaha mendengar secara mendalam dan menggali informasi. Akhirnya, mereka tahu kalau di kelompok itu ada satu orang yang ragu-ragu, kemudian negosiator itu fokus pada orang tersebut, membujuknya untuk bicara dengan memberikan rasa aman. Selama beberapa jam, akhirnya perampok bank itu menyerah tanpa melukai sandera satupun.

Kuasai kata “tidak” dalam negosiasi
Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk setuju. Apabila kita paksakan, malah membuat lawan bicara kita jadi marah. Kata “tidak” bukanlah akhir dari negosiasi, tapi merupakan titik awal untuk mengetahui apa yang diinginkan masing-masing pihak dan bisa mulai negosiasi dari situ. Kata “tidak” bisa berarti banyak hal, misalnya saya belum siap untuk setuju, kamu membuat saya tidak nyaman, saya tidak mengerti, atau saya butuh informasi tambahan. Ketika mereka bilang “tidak”, tanyakan pertanyaan yang solutif seperti “Apa yang membuatmu tidak setuju?” “Apa yang harus dilakukan agar kamu bisa setuju?”
Dalam bernegosiasi, kamu bukan hanya bertujuan untuk meraih kesepakatan, tapi harus memastikan kesepakatan itu dijalankan oleh masing-masing pihak. Negosiasi itu ibarat menaiki tangga. Setiap anak tangga yang kamu naiki akan membuatmu semakin dekat dengan tujuanmu. Sebelum itu terjadi, kamu harus bisa membuat mereka bilang “Iya, betul.” Kata ini jauh lebih kuat dari kata “setuju”. Ketika dia bilang “iya, betul” artinya dia mengakui apa yang kamu bicarakan dan merasa dihargai.

Mencari kesepakatan yang “adil”
“Adil” adalah kata yang kuat dalam setiap skenario negosiasi. Tentunya, reputasi kamu sebagai negosiator yang adil adalah rapor positif untuk mencapai kesepakatan. Kita harus bisa membujuk lawan bicara kita kalau dalam negosiasi yang “adil”, pasti ada yang dikorbankan oleh masing-masing pihak. Chris memberikan tips bagaimana mencapai negosiasi yang “adil”. Pertama, jangan pernah kasih penawaran harga duluan ketika bernegosiasi. Biarkan pihak lawan bicara kita yang tentukan harga duluan. Dalam perjalanan karirnya, pihak lawan bicara cenderung memberikan penawaran harga lebih tinggi dari apa yang ada di pikiran Chris. Setelah penawaran harga sudah diberikan, kita harus siap untuk memberikan penawaran harga tandingan. Chris menyarankan kita untuk memberikan kisaran harga dan referensi yang mendukung harga yang kita tawarkan. Misalnya saat negosisasi gaji, “Untuk level manajerial di Perusahaan multinational sebesar ini, informasi yang saya dapat gajinya berkisar antara sekian hingga sekian.” Referensi pendukung ini akan membuat lawan bicara kita lebih mudah menerima. Tips lain adalah ketika kasih penawaran harga, kasih angka yang ganjil. Misalnya seperti, untuk total jasa dari pekerjaan ini, kita menawarkan harga sebesar 15,625,725,- Nah angka yang ganjil menunjukkan kalau kita sudah menghitung angka ini dengan teliti, jadi pihak lawan bicara tidak mengira kita kasih harga mark up yang tinggi.
Dalam bernegosiasi, jangan lupa untuk perhatikan hal lain selain apa yang dibicarakan. Berdasarkan aturan 7-38-55 persen yang diciptakan oleh Profesor Albert Mehrabain, setiap pesan yang disampaikan terdiri dari 7% kata-kata, 38% nada ucapannya, dan 55% bahasa tubuh dan ekspresi wajahnya. Contohnya, ketika seseorang bilang setuju, tapi bahasa tubuhnya berkata sebaliknya. Kita harus bisa menyadari hal ini dan langsung mengatakannya. Ini penting untuk memastikan masing-masing pihak menghormati kesepakatan yang akan dibuat dan menjalankannya.
Untuk versi animasinya, bisa ditonton di:
bagus sekali isinya mas. terimakasih sesekali bedah bukunya Jim Collins dunk mas. suwun
SukaSuka
Hai, kak! Thank you sarannya. Apakah ada judul buku yang diinginkan untuk direview? 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
great by choice mas..buku lama tapi di recomendasikan oleh Pak Teddy Rachmat Pengusaha terkaya dan dermawan no 2 se Asia tenggara itu
SukaSuka
Oke baik, ditunggu ya. 🙂
SukaSuka