Dalam acara Nulisbuku Club: Writing Your Awesome Journey hari sabtu lalu (22/08), Windy menceritakan pengalamannya mengajar di Kampung Sawenduy, Distrik Raimbawi, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua. Di luar dari keindahan alamnya yang memukau, masyarakat pesisir yang tinggal di Sawenduy memiliki kebesaran hati yang luar biasa. Windy bercerita dengan penuh haru bagaimana Apsalom Korano, kepala adat suku Nunsiari, ingin memotong ayam untuk makan malam mereka karena tidak mendapatkan ikan. Bagi masyarakat Sawenduy, menyajikan hidangan terbaik untuk tamu adalah wujud rasa suka cita dan cara sederhana menghargai kehadiran tamu di rumah mereka. Walaupun hidup dalam kesederhanaan, masyarakat Sawenduy selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk orang lain.
To travel is to take a journey into yourself – Danny Kaye
Selanjutnya, Windy bercerita tentang Myanmar. Negara ini dikunjunginya pada saat pemerintah Myanmar mulai membuka diri dan mengijinkan wisatawan untuk masuk. Disana, Windy merupakan saksi dari derasnya investor yang masuk ke negara ini. Ada yang unik dari Myanmar, mayoritas penduduk disana menggunakan sendal sebagai alas kaki sehari-hari. Ini disebabkan karena mereka harus pergi ke kuil untuk beribadah. Windy juga kagum melihat keteraturan dalam negara ini ketika para biksu disana melakukan pindapatta (menerima pemberian dana makanan oleh umat). Di dalam sebuah negara yang sedang bergegas untuk melakukan peningkatan ekonomi dan pembangunan, masyarakat disana tetap memiliki keseimbangan dan keteraturan dalam menjalani kehidupannya sehari-hari.
Kemudian, Windy bercerita tentang sebuah kota bernama Chefchaouen di Maroko. Sebuah kota yang terkenal karena bangunannya dicat warna putih dengan aksen biru muda sebagai bentuk warisan budaya bangsa Yahudi. Pada tahun 1930-an, kota ini merupakan tempat pengasingan bangsa Yahudi. Chefchaouen mengajarkan Windy soal toleransi antar umat beragama. Di kota ini, suku Berber yang merupakan penduduk asli Maroko dan beragama Islam hidup berdampingan dengan damai bersama bangsa Yahudi. Kota ini dicat warna biru karena biru adalah warna suci dan dipercayai sebagai warna tempat Tuhan berada. Biru juga merupakan pengingat bangsa Yahudi untuk selalu dekat dengan Sang Pencipta. Selain itu, biru juga merupakan ungkapan rasa rindu bangsa Yahudi atas kampung halamannya ketika diasingkan disana.
Certainly, travel is more than the seeing of sights; it is a change that goes on, deep and permanent, in the ideas of living – Mary Ritter Beard.
Perjalanan kadang menjadi momen untuk menenangkan diri, melakukan refleksi diri.
SukaSuka
Setuju, mas! 🙂
SukaSuka
Setuju. Aku merasa tambah pintar setelah traveling. Nambah ilmu dan pengalaman banget. :3
SukaSuka
Viva la travelling! 😀
SukaSuka