
Sejak munculnya media sosial, komunikasi menjadi semakin mudah. Sudah sering kita dengar, bagaimana media sosial bisa menghubungkan teman lama, bagaimana media sosial bisa menemukan seseorang dengan kembarannya yang telah terpisah sejak lahir. Di tengah semua keunggulan yang ditawarkan media sosial, secara tidak sadar empati dalam diri kita juga semakin berkurang. Ketika sebuah pelukan hangat saat sahabat kita sedang sedih cukup diganti dengan emoticon *hugs*. Ketika kita lebih memilih mengetik get well soon daripada datang menjenguk teman kita yang sedang sakit. Ketika kita melakukan semua itu, di saat itulah empati kita mulai terkikis. Slowly but sure.
Menurut survei yang dilakukan oleh netdna-cdn.com, 24% orang kehilangan momen spesial mereka karena sibuk membagikan momen tersebut lewat jejaring sosial. Misalnya, kamu bertemu dengan sahabat lama di sebuah kafe. Tanpa sadar, kamu sibuk memainkan iPad atau ponsel kamu untuk membagikan momen penting tersebut ke situs media sosial. Sumber: Merdeka.com. Coba kita renungkan bersama, ketika kita nongkrong berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk ngobrol? Atau masing – masing dari kita, malah lebih sibuk update location atau photo di Path atau Twitter dan sejenisnya?
Media sosial mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat
Saya merindukan masa dimana bisa nongkrong yang penuh canda tawa, bukan hanya upload foto keseruan (yang sebenarnya tidak se-asyik itu) di media sosial. Saya merindukan masa dimana teman kita serius mendengarkan curahan hati kita, bukan hanya jawab,”iya iya, terus?” sambil asyik melihat timeline media sosialnya. Saya merindukan melihat pasangan yang asyik bercanda ria saling menggoda, bukan pasangan yang sibuk dengan gadget-nya masing – masing.
Saya tahu kamu pasti juga merindukan hal tersebut, bukan? Mari kita taruh semua gadget dan nikmatilah setiap momen yang kita miliki dengan orang yang kita sayangi. Karena bagi saya, teman yang datang menjenguk ketika sakit lebih berharga dibandingkan 1.000 ucapan get well soon di media sosial.
Life is short and it’s shorter if we only spent it in social media. Get a life!
Nice post. Emang bener sih, sekarang orang lebih memilih bermain dengan gadgetnya ketimbang ngobrol ketika berkumpul. Bahkan ada yang mati gaya kalau gak bawa gadget.
Tapi ada juga sih yang karena era digital ini pekerjaan jadi gak ada hentinya karena harus ngecek ini itu di manapun mereka berada, sehingga terlihat selalu bermain dengan gadgetnya (padahal lagi kerja). Di satu sisi era digital membawa kemudahan dalam hidup, di sisi lain justru merepotkan kehidupan.
Coba tanya yang kerja di dunia digital, seberapa sering kehidupan mereka terganggu karena pekerjaan. *sekalian curcol*
SukaSuka
Iya bener banget, Hahahaha.. #Pukpuk. Tapi, kayaknya kalau cuti, harus turn off gadget biar gak di-gangguin. :))
SukaSuka
betul klo ketemu teman lama saya lebih seneng tetep fokus ngobrol sama dia, paling foto itupun diuploadnya baru besok2nya klo sempet, eman2 dengan suasananya 😀
SukaSuka
Good then! 😀
SukaSuka
bener bangeettt komennya chika di atas. Karena kerjaanku berhubungan sama social media, jadinya capeeek banget sama segala sesuatu berbentuk digital. Kalo orang luar lihat sih enak, tapi kalo udah 5 th lebih kerja di tempat gini, capek juga harus stand by tiap saat.. :))
SukaSuka
Iya sih, kalo orang luar pasti ngiranya keren kalo kerja di digital. Tapi konsekuensinya harus stand by setiap saat, even pas libur. 😀
SukaSuka
Pukpuk Kak Titiw dan Kak CHika.
Apa bedanya sama yang jurnalis online? Pas ngumpul, dikiranya asyik sama gadget sendiri sampai-sampai melupakan sekitar. Lah, padahal kita lagi ngetik berita untuk menuhi kuota 10 berita lebih per hari :p
SukaSuka
Oia, gw sering kok pas ngetik berita dengan sesama rekan jurnalis online juga, pas gw bilang ‘Gw mau curhat, elo dengerin, ya?’ dia bersedia kok mendengarkan, dan menjauhkan gadget dari penglihatan. Jadi, ya, tergantung siapa yang ditemui saja
SukaSuka
Nah betul. Selain itu, trik yang suka g pake adalah, sengaja berhenti ngomong tiba2 sampe dapet perhatian lawan bicara baru dilanjutin. Dan, alhasil lawan bicara jadi sungkan kalo lanjutin nge-gadget. :))
SukaSuka
Lucu sekaligus miris ya, klo gadget (ternyata) bisa mengalahkan empati. Padahal empati itu adalah ‘rasa’ yang setiap manuasia pasti punya (walaupun ada beberapa individu tertanam jauh di dalam dirinya). Sedangkan gadget, mungkin tidak semua orang punya. Iya ga cih?
Semuanya itu berawal dari yang nama nya kata ‘instan’ dan ‘cepat’, semua orang berlomba-lomba untuk memperebutkan itu, dan adanya gadget (katanya) mempermudah orang-orang ‘memenangkan’ itu.
Mungkin dari kita nya harus lebih pandai, dalam memilah mana yang masih bisa di ‘toleransi’ dengan gadget, jangan sampai gadget itu memperbudak rasa empati kita. Even gw juga belum pandai dalam hal itu, hihihihihi..
Tapi kayaknya, gw membayangkan kehidupan tanpa empati lebih menyeramkan daripada membayangkan hidup tanpa gadget 🙂
Salam kenal.. 🙂
SukaSuka
Hahaha. Iya betul banget. Hidup tanpa empati lebih meyeramkan daripada hidup tanpa gadget. Salam kenal. 🙂
SukaSuka